2007年10月17日 星期三

Nuruddin Ar-Raniri
Ar Raniri (lengkap: Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi) adalah ulama penasehat Kesultanan Aceh pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani.
Ar Raniri diperkirakan lahir sekitar akhir abad ke-16 di kota Ranir, India, dan wafat pada 21 September 1658. Pada tahun 1637, Ar Raniri datang ke Aceh, dan kemudian menjadi penasehat kesultanan di sana hingga tahun 1644.

Peranan di Aceh
Ar-Raniri berperan penting saat berhasil memimpin ulama Aceh menghancurkan ajaran tasawuf falsafinya Hamzah al-Fansuri yang dikhawatirkan dapat merusak akidah umat Islam awam terutama yang baru memeluknya. Tasawuf falsafi berasal dari ajaran Al-Hallaj, Ibn 'Arabi, dan Suhrawardi, yang khas dengan doktrin Wihdatul Wujud (Menyatunya Kewujudan) di mana sewaktu dalam keadaan sukr ('mabuk' dalam kecintaan kepada Allah Ta'ala) dan fana' fillah ('hilang' bersama Allah), seseorang wali itu mungkin mengeluarkan kata-kata yang lahiriahnya sesat atau menyimpang dari syariat Islam.
Maka oleh mereka yang tidak mengerti hakikat ucapan-ucapan tersebut, dapat membahayakan akidah dan menimbulkan fitnah pada masyarakat Islam. Karena individu-individu tersebut syuhud ('menyaksikan') hanya Allah sedang semua ciptaan termasuk dirinya sendiri tidak wujud dan kelihatan. Maka dikatakan wahdatul wujud karena yang wajib wujudnya itu hanyalah Allah Ta'ala sedang para makhluk tidak berkewajiban untuk wujud tanpa kehendak Allah. Sama seperti bayang-bayang pada pewayangan kulit.
Konstruksi wahdatul wujud ini jauh berbeda malah dapat dikatakan berlawanan dengan faham 'manunggaling kawula lan Gusti'. Karena pada konsep 'manunggaling kawula lan Gusti', dapat diibaratkan umpama bercampurnya kopi dengan susu-- maka substansi dua-duanya sesudah menyatu adalah berbeda dari sebelumnya. Sedangkan pada faham wahdatul wujud, dapat di umpamakan seperti satu tetesan air murni pada ujung jari yang dicelupkan ke dalam lautan air murni. Sewaktu itu, tidak dapat dibedakan air pada ujung jari dari air lautan. Karena semuanya 'kembali' kepada Allah.
Maka pluralisme (menyamakan semua agama) menjadi lanjutan terhadap gagasan begini dimana yang penting dan utama adalah Pencipta, dan semua ciptaan adalah sama-- hadir di alam mayapada hanya karena kehendak Allah Ta'ala.
Maka faham ini, tanpa dibarengi dengan pemahaman dan kepercayaan syariat, dapat membelokkan akidah. Pada zaman dahulu, para waliullah di negara-negara Islam Timur Tengah sering, apabila di dalam keadaan begini, dianjurkan untuk tidak tampil di khalayak ramai.
Tasawuf falsafi diperkenalkan di Nusantara oleh Fansuri dan Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar kemudian dieksekusi mati oleh dewan wali (Wali Songo). Ini adalah hukuman yang disepakati bagi pelanggaran syariat, manakala hakikatnya hanya Allah yang dapat maha mengetahui.
Al-Hallaj setelah dipancung lehernya, badannya masih dapat bergerak, dan lidahnya masih dapat berzikir. Darahnya pula mengalir mengeja asma Allah-- ini semua karamah untuk mempertahankan namanya.
Di Jawa, tasawuf falsafi bersinkretisme dengan aliran kebatinan dalam ajaran Hindu dan Budha sehingga menghasilkan ajaran kejawen.
Ronggowarsito (Bapak Kebatinan Indonesia) dianggap sebagai penerus Siti Jenar. Karya-karyanya, seperti Suluk Jiwa, Serat Pamoring Kawula Gusti, Suluk Lukma Lelana, dan Serat Hidayat Jati, sering diaku-aku Ronggowarsito berdasarkan kitab dan sunnah. Namun banyak terdapat kesalahan tafsir dan transformasi pemikiran dalam karya-karyanya itu. Ronggowarsito hanya mengandalkan terjemahan buku-buku tasawuf dari bahasa Jawa dan tidak melakukan perbandingan dengan naskah asli bahasa Arab. Tanpa referensi kepada kitab-kitab Arab yang ditulis oleh ulama ahli syariat dan hakikat yang mu'tabar seperti Syeikh Abdul Qadir Jailani dan Ibn 'Arabi, maka ini adalah sangat berbahaya.
Ar-Raniri dikatakan pulang kembali ke India setelah beliau dikalahkan oleh dua orang murid Hamzah Fansuri pada suatu perdebatan umum. Ada riwayat mengatakan beliau meninggal di India.

沒有留言: